Pada umumnya, perusahaan melakukan investasi pada peralatan modalnya untuk tetap bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi. Akan tetapi peralatan modal tersebut tidak dapat beroperasi secara efisien bila para operator tidak memiliki keahlian dan keterampilan dalam mengoperasikannya. Selain itu, perubahan teknologi yang sangat cepat menyebabkan mesin cepat usang. Hal ini menggambarkan pemikiran bahwa investasi dalam teknologi hanya memberikan keunggulan bersaing yang terbatas, karena “Machine don’t make things, people do” (Pfeffer,1994). Konsekuensi logis yang harus dihadapi untuk membuat organisasi mempunyai daya bersaing yang lebih berkelanjutan dan lebih sulit ditiru adalah investasi dalam sumber daya ekonomi yang paling berharga yaitu manusia.
Langkah pemerintah dalam hal ini dinilai sudah tepat. Pemerintah dengan mengambil prioritas pengembangan Sumber Daya Manusia telah menekankan pengeluaran investasi terutama dalam hal peningkatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan kerja. Tujuan investasi dalam Sumber Daya Manusia tersebut adalah untuk peningkatan kapasitas produktif manusia. Karena secara logika tenaga kerja yang sehat, berpendidikan dan terampil memiliki produktivitas yang lebih besar, dan selanjutnya, peningkatan produktivitas berarti peningkatan returns.
Akan tetapi, dalam banyak praktek bisnis, isu-isu Sumber Daya Manusia masih cenderung diabaikan. Keunggulan bersaing biasanya dibahas dalam konteks perencanaan strategik yang menekankan pada analisis industri dan persaingan, kebutuhan pelanggan, atribut produk/jasa, dan kapabilitas manufakturing, dengan mengesampingkan isu-isu Sumber Daya Manusia. Karena pada dasarnya kontribusi Sumber Daya Manusia terhadap pengembangan keunggulan bersaing masih dipertanyakan. Agar tujuan sumber daya manusia memberikan kontribusi yang lebih besar bagi organisasi untuk meraih keunggulan bersaing tercapai, diperlukan strategi yang tepat dalam perencanaan SDM secara terpadu. Kegiatan dari strategi SDM didasarkan kerja sama antar departemen SDM dengan manajer lini serta keterlibatan manajemen puncak dalam menjelaskan visi dan misi organisasi yang dapat dijabarkan dalam tujuan bisnis yang strategis. Bila Manajemen Sumber Daya Manusia bisa menciptakan keunggulan bersaing yang nyata, Manajemen Sumber daya Manusia harus diintegrasikan secara penuh dalam tahap-tahap baik penyusunan maupun pengaplikasian proses manajemen strategik.
Pengertian Keunggulan Bersaing
Keunggulan bersaing merupakan posisi unik yang dikembangkan perusahaan dalam menghadapi para pesaing dan mungkin perusahaan dapat mengungguli mereka secara konsisten. Menurut Coyne (1986), keunggulan bersaing mempunyai arti hanya bila “dirasakan” di pasar. Keunggulan tersebut akan berkelanjutan, hanya bila para pesaing tidak bisa dengan mudah menirunya (Barney, 1991). Artinya ada perbedaan mendasar yang memisahkan perusahaan dari pesaing. Apabila tidak demikian maka keunggulan bersaing tidak ada (Coyne, 1986). Secara ringkas, kondisi paling penting untuk mempertahankan keunggulan adalah bahwa para pesaing yang ada dan potensial tidak mampu atau tidak akan mengambil tindakan untuk meniru ataupun menyaingi perusahaan. Bila para pesaing dapat meniru dan menyaingi perusahaan, maka perusahaan tidak memiliki keunggulan bersaing. Barney (1991) mengemukakan empat kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu sumber daya dapat disebut sebagai sumber keunggulan bersaing berkelanjutan :
1. Merupakan sumber daya organisasional yang sangat berharga, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk mengekploitasi kesempatan dan/atau menetralisir ancaman dari lingkungan perusahaan.
2. Relatif sulit untuk dikembangkan dan sehingga menjadi langka di lingkungan bersaing.
3. Sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi
4. Tidak dapat dengan mudah digantikan secara signifikan.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan Keunggulan Bersaing Berkelanjutan
Semakin disadari bahwa dunia bisnis akan menjadi industri yang “digerakkan” oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak lagi hanya bergantung pada melimpahnya sumber daya alam dan upah buruh yang murah. Menghadapi kondisi seperti ini, organisasi yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya atau pertumbuhannya akan semakin tergantung pada cara pengelolaan SDM-nya. Manajemen mulai mencanangkan kembali slogan “Orang adalah aset paling penting.” Namun tantangan utama adalah mengarahkan organisasi untuk melakukan dua perubahan konseptual vital.
Pertama, Perusahaan seharusnya tidak hanya percaya bahwa orang merupakan aset paling penting, tetapi juga menerjemahkan keyakinan ini ke dalam praktek-praktek dan prosedur-prosedur MSDM sehari-hari. Perusahaan perlu mempunyai filosofi “people first” dan “customer second”.
Kedua, Perusahaan yang saat ini menganggap biaya-biaya personalia, seperti misal pelatihan, sebagai pengeluaran-pengeluaran overhead, harus mulai memperlakukannya sebagai investasi.
Dasar pemikiran makin pentingnya SDM, dan bagaimana mereka dikelola, sebagai keunggulan bersaing adalah bahwa, banyak sumber sukses bersaing tradisional-seperti teknologi produk dan proses, proteksi pasar, akses ke sumber daya finansial dan skala ekonomi, meskipun memberikan peningkatan kemampuan bersaing, menjadi kurang memiliki kekuatan (Pfeffer,1984). Sebagai ilustrasi, kita bahas masalah yang terkait dengan upaya penciptaan keunggulan bersaing melalui investasi dalam teknologi proses.
Ilustrasi: Investasi dalam teknologi proses canggih bukan merupakan peran pengganti untuk keterampilan dan pengelolaan SDM krusial untuk mencapai sukses. Ini karena keterampilan lebih tinggi dibutuhkan untuk mengoperasikan, merawat dan memperbaiki peralatan yang lebih canggih.
Sejalan dengan makin kurang pentingnya sumber keunggulan bersaing tradisional, faktor pembeda yang tetap krusial, dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, adalah organisasi, SDM, dan bagaimana mereka dikelola. Semakin disadari bahwa sumber keunggulan bersaing yang paling sulit ditiru dan lebih bisa mendukung adalah melalui kegiatan-kegiatan dan praktik-praktik MSDM, karena sukses yang datang dari MSDM tidak terlihat kasat mata. Sebagai contoh, sistem informasi yang terkomputerisasi sebagai suatu sumber keunggulan bersaing akan lebih mudah dilihat dan ditiru para pesaing dibanding, misal, budaya dan praktek-praktek MSDM perusahaan. Pengembangan keunggulan bersaing melalui praktek-praktek MSDM dapat dilakukan dengan pemahaman Stratetic target dan strategic thrusts (Schuler & Macmillan,1984). Empat sasaran strategik pengembangan SDM mencakup perusahaan itu sendiri, pelanggan, penyalur dan pemasok. Pencapaian sasaran-sasaran MSDM ini tentu saja memerlukan perubahan cara-cara pengelolaan SDM dan lingkungan kerja. Sedangkan dua Startegic thrusts, atau cara memenangkan persaingan, melalui praktek-praktek MSDM adalah efisiensi biaya dan diferensiasi.
Sejalan dengan pergeseran fokus ke MSDM, manajemen organisasi dituntut untuk mengubah secara fundamental cara kita memandang SDM dan hubungan kerja. Ini berarti bahwa upaya pencapaian sukses diwujudkan dengan memandang SDM sebagai suatu keunggulan strategik, bukan hanya sebagai sumber biaya yang harus diminimumkan atau dihindari. Lebih lanjut, perusahaan perlu mengembangkan praktek-praktek yang menjamin perolehan pendapatan dari investasi dalam SDMnya. Manajemen yang memahami keterkaitan antara praktik-praktik MSDM dan keunggulan bersaing akan mengembangkan program-program pengembangan dan pelatihan keterampilan, peningkatan komitmen kerja, dan penciptaan iklim kerja yang kondusif untuk memuaskan berbagai kebutuhan karyawan. Pengembangan sistem kerja alternatif, sistem imbalan berdasarkan kinerja dan sistem penilaian kinerja adalah beberapa contoh aspek signifikan dalam MSDM di masa mendatang.
Selanjutnya, sebagai partisipan penting dalam pengambilan keputusan strategik, manajer SDM dituntut untuk dapat mengartikulasikan berbagai alasan mengapa organisasi harus mengalokasikan lebih banyak sumber dayanya untuk investasi dalam personalia. Tugas ini memerlukan ketajaman pemikiran dalam merumuskan perencanaan dan pengembangan SDM. Karena mengilustrasikan peranan vital SDM tidak cukup dengan bagan-bagan yang menunjukkan data statistik, manajer SDM harus mengembangkam cara-cara yang kreatif dan inovatif untuk menyakinkan para manajer lain.
Apa Tantangan-Tantangan yang dihadapi MSDM
Manajemen organisasi menghadapi paling tidak lima hambatan atau tantangan dalam pengelolaan SDM (Pfeffer,1994 & Skinner,1981). Berbagai tantangan ini menjadi halangan-penghalang terhadap upaya untuk meningkatkan kontribusi MSDM dalam pengembangan keunggulan bersaing berkelanjutan.
Pertama, menyangkut asumsi-asumsi keliru tentang SDM yang dipegang oleh manajemen. Empat asumsi keliru tersebut antara lain :
· Dengan manajer-manajer yang “baik”, MSDM jalan dengan sendirinya;
· Sumber Daya Manusia adalah tidak begitu penting;
· Pengendalian adalah segalanya
· Setiap masalah mempunyai suatu solusi.
Kedua, banyak masalah MSDM kritis di tingkat korporat yang belum terpecahkan. Berbagai masalah tersebut antara lain berkaitan dengan peran MSDM dalam pengambilan keputusan strategik, dan kurangnya pengetahuan MSDM dikalangan para manajer puncak. Ini semua dipengaruhi oleh struktur, ukuran,keanekaragaman dan alokasi wewenang organisasional.
Ketiga, menyangkut pencapaian komitmen karyawan. Penciptaan komitmen ratusan atau ribuan individu dalam suatu perusahaan, agar mereka bersedia bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, adalah sangat sulit. Tujuan perusahaan biasanya bersifat jangka panjang dan bersifat umum, seperti pertumbuhan atau keuntungan. Padahal, para karyawan memfokuskan pada horison waktu jangka pendek untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka (misal, gaji, kondisi kerja, promosi dan perlakuan adil). Penciptaan hubungan antara rangkaian tujuan-tujuan tersebut tidak mudah.
Keempat, Bersumber pada kenyataan bahwa banyak konsep atau teori dibidang MSDM yang tidak hanya berbeda, tetapi sering bertentangan. Sebagai contoh ilustrasi paling tidak ada empat disiplin yang berbeda-human relation, labor relation, personnel administrations, dan industrial engineering-yang sering digunakan sebagai dasar kebijakan dan praktek MSDM. Masing-masing disiplin tersebut memberikan pesan yang berbeda dalam upaya peningkatan kinerja SDM. Manajemen organisasi sering tidak tahu bagaimana meramu unsur-unsur tersebut menjadi suatu sistem MSDM perusahaan yang efektif.
Kelima, mungkin tantangan terpenting dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, adalah fleksibilitas. Fleksibilitas untuk melakukan adaptasi dan penyesuaian terhadap lingkungan yang berubah secara cepat dan semakin bergejolak, fleksibilitas untuk mencoba berbagai konsep SDM baru dan fleksibilitas untuk menerima dan mengimplementasikan perubahan-perubahan mendasar. Fleksibilitas untuk berubah ini harus dipunyai bukan karena kita ingin memilikinya, tetapi karena kita harus melakukannya, sebagai adaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan, seperti perubahan pelanggan, perubahan sumber dan komposisi personalia, perubahan teknologi, dan perubahan sosial budaya. Dilema kita adalah personalia organisasi, bahkan staf profesional SDM, sering menunjukkan penolakan terhadap perubahan, membuat orgnisasi tidak fleksibel ketika kita harus mengubah cara kerja.
Startegi Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Untuk mengembangkan SDM, manajemen organisasi harus melakukan berbagai perubahan fundamental terhadap kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek konvensional. Skinner (1981) menyarankan tiga perubahan (yang sangat relevan bagi organisasi-organisasi di Indonesia) :
· Manajemen perlu mengubah pola pikir atau cara pandangan terhadap MSDM, menyingkirkan asumsi-asumsi yang keliru di benak mereka:
· Manajemen dapat mulai untuk meningkatkan kinerja SDM dengan melakukan kegiatan-kegiatan MSDM “dasar” secara lebih baik (doing the basics better)
· Manajemen perlu menetapkan horison waktu tujuh tahun untuk perencanaan dan operasi SDM;
Dengan mempunyai horison jangka waktu jangka panjang, manajemen mengembangkan filosofi, menetapkan sasaran dan merumuskan strategi untuk mencapai sasaran tersebut; dan Manajemen perlu membuat suatu program jangka panjang untuk mengembangkan manajer-manajer umum dengan berbagai keterampilan dan pengalaman MSDM. Akhirnya, bila kita benar-benar percaya bahwa lingkungan bisnis selalu berubah secara dramatis dan kekuatan-kekuatan yang mendasari perubahan-perubahan tersebut sebagian besar diluar kendali kita, sudah waktunya bagi manajemen untuk mengubah sikap lama yang kaku. Manajemen perlu fleksibel untuk menerima gagasan-gagasan baru, meskipun mungkin saat ini kurang “pas”.
Atau menciptakan keunggulan bersaing dengan empat pendekatan dari Ulrich, yakni:
1. Strategic Partner menjadi mitra manajer senior dan manajer lini dalam melaksanakan strategi yang telah direncanakan, menerjemahkan strategi bisnis ke dalam tindakan nyata dengan diagnosis organisasi, yakni sistem penilaian dan pengabungan praktek organisasi dengan tujuan bisnis yang dapat dibentuk pada setiap level organisasi.
2. Administrasi Expert, menjadi ahli dalam mengatur pelaksanaan pekerjaan serta efisiensi administrasi agar dihasilkan output dengan biaya rendah namun kualitas terjamin. Upaya ini dapat dilakukan dengan rekayasa ulang, termasuk merekayasa kembali bidang SDM. Menjadi pakar administrasi perlu menguasai dua fase rekayasa kembali. Pertama, proses perbaikan, memfokuskan pada indentifikasi proses-proses yang tidak efektif dan merencanakan metode alternatif untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Kedua, memikirkan penciptaan ulang yang prosesnya dimulai pelanggan. Sehingga dapat mengubah fokus kerja dari apa yang dapat dilakukan menjadi apa yang harus dihasilkan.
3. Employee Champion, menjadi penengah antara karyawan dan manajemen untuk memenuhi kepentingan dua belah pihak. Dengan persaingan bisnis yang semakin kuat menyebabkan tuntutan manajemen terhadap karyawan semakin tinggi. Oleh karena manajer lini harus memperhatikan keadaan karyawan yang berkaitan dengan: Pertama, kurangi tuntutan dengan cara mengurangi beban kerja dan menyeimbangkan dengan sumber daya yang dimiliki oleh karyawan. Kedua, tingkatan sumber daya dengan membantu karyawan mendefenisikan sumber daya baru (dalam dari karyawan) sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan organisasi. Ketiga, mengubah tuntutan menjadi sumber daya dengan cara membantu karyawan mempelajari transformasi demand ke dalam sumber daya.
4. Change Agent, menjadi agent perubahan, mempertajam proses dan budaya yang dapat meningkatkan kapasitas organisasi untuk berubah. Terdapat tiga tipe perubahan yaitu:
pertama, perubahan inisiatif, memfokuskan pada penerapan program, proyek tau prosedur baru.
Kedua, perubahan proses dalam organisasi dengan memfokuskan kepada cara bagaimana melakukan kerja sama optimal.
Ketiga, perubahan budaya akan terjadi jika strategi dasar organisasi bisnis dikonseptualkan kembali.
Keempat hal tersebut merupakan peran baru dari Departemen MSDM yang akan dapat meraih keunggulan bersaing dengan kerja sama dengan manajer lini dan manajer puncak. Keunggulan bersaing akan dicapai dengan tiga strategi yaitu : inovasi, peningkatan kualitas serta penurunan biaya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete